Selasa, 25 Agustus 2015

646 Calhaj Sragen Diberangkatkan Dalam 3 Kloter

Sebanyak 356 calhaj kloter I Embarkasi Adi Soemarmo Solo dilepas oleh Plt. Sekda Provinsi Jateng Djoko Sutrisno di Asrama Haji Donohudan, Ngemplak, Boyolali, Jumat (21/8/2015). (Muhammad Ismail/JIBI/Solopos)
Solopos.com, SRAGEN--Sebanyak 646 calon jemaah haji (calhaj) asal Sragen siap diberangkatkan ke Tanah Suci dengan menggunakan tiga kelompok terbang (kloter) pada 14 September mendatang.

Kasi Pelaksana Ibadah Haji dan Umrah, Kementerian Agama (Kemenag) Sragen, Sutopo, mengatakan sebetulnya terdapat 650 calhaj asal Sragen yang akan diberangkatkan ke Tanah Suci. Namun, empat calhaj mengajukan mutasi masing-masing dua orang ke Semarang dan dua orang ke Pati. “Mereka memiliki berangkat haji bersama orang tua atau saudaranya. Jadi, mereka mengajukan mutasi meski mendaftar haji di Sragen,” kata Sutopo saat ditemui Solopos.com di kantornya, Selasa (25/8/2015).
Calhaj tertua berusia 88 tahun bernama Soenardi yang berasal dari Kecamatan Miri. Calhaj termuda berusia 24 tahun bernama Adib Susilo yang berasal dari Kecamatan Gemolong. Keberangkatan calhaj secara simbolis akan dilepas Bupati Sragen pada awal September mendatang.
Anggota Staf Pelaksana Ibadah Haji Kemenag Sragen, Fandi Adiyatama, mengatakan calhaj asal Sragen akan berangkat menggunakan kloter 67, 68, dan 69. Calhaj yang akan diberangkatkan pada tahun ini sudah mendaftar sejak 2010 silam. Saat ini, dokumen milik calhaj sudah dikirimkan ke panitia pemberangkatan haji di Asrama Haji Donohudan.
Para calhaj juga sudah mengikuti manasik yang diselenggarakan secara kelompok. Kemenag Sragen juga menggelar kegiatan pemantapan kerja yang diikuti para ketua regu dan ketua rombongan calhaj. Pemantapan kerja itu dihadiri oleh Tim Kesehatan asal Dinas Kesehatan (Dinkes) Sragen.

TOL SOLO-KERTOSONO : Dua Rumah di Sragen Terancam Digusur

Tol Solo-Kertosono, ada dua rumah di Masaran yang digusur.
Solopos.com, SRAGEN--Dua unit rumah di Dusun Pandak, Desa Krikilan, Masaran, Sragen, terancam digusur karena berada di jalur proyek pembangunan jalan tol Solo-Kertosono (Soker). Dua rumah yang dibangun permanen itu milik Purwadi, 65, dan anaknya, Supri, 35. Dua rumah itu hingga kini masih ditempati penghuninya.
Saat ditemui Solopos.com di rumahnya, Senin (24/8/2015), Purwadi mengaku masih kebingungan harus tinggal di mana jika rumahnya digusur. Dia sudah berusaha mencari lahan pengganti di kawasan Masaran, namun harganya jauh lebih mahal daripada harga ganti rugi yang ditawarkan.
“Kami hanya ditawari biaya ganti rugi tanah Rp400.000/meter. Padahal, harga tanah di sekitar sini sudah Rp600.000 meter hingga Rp800.000/meter. Lalu dari mana lagi saya harus mencari biaya tambahan,” kata Purwadi.
Purwadi sudah puluhan tahun tinggal di rumahnya. Di rumah selus 88,20 meter persegi itu, dia membesarkan tujuh anaknya. Dia berharap biaya ganti rugi tanah itu bisa menyentuh Rp750.000/meter sehingga dia tidak kesulitan mencari tanah pengganti. Sejauh ini, Purwadi juga belum mengetahui besaran biaya ganti rugi bangunan rumahnya.
“Taksiran saya biaya ganti rugi bangunan itu senilai Rp2 juta/meter. Sekarang harga material bangunan sudah naik. Kalau ganti rugi kurang dari Rp2 juta/meter tentu tidak cukup untuk dibelanjakan bahan material,” papar dia.
Kepala Desa Krikilan, Sunarwan, mengatakan proyek pembangunan jalan Tol Soker menghadirkan dilema. Sebagai pemimpin wilayah, dia mendukung rencana pemerintah membangunan jalan tol untuk memudahkan akses transportasi darat. Di sisi lain, dia merasa kasihan dengan warganya yang tidak mendapat ganti rugi sesuai taksiran harga tanah di sekitarnya.
“Saya sudah menyurvei harga tanah di sekitar Krikilan. Harga tanah antara Rp600.000/meter hingga Rp800.000/meter. Kalau ganti rugi tanah hanya Rp400.000/meter, tentu tidak cukup untuk membali tanah pengganti. Kalau cukup, paling luasnya berkurang banyak,” papar Sunarman.

MEMBATIK

Samirah,75 buruh batik di Desa Mundu, Manyarejo, Plupuh, Sragen menyelesaikan kain batik yang sudah diberi motif dengan mendapatkan ongkos Rp 7.000,- per potong, Kamis (5/7/2012). Para pembatik di kawasan tersebut terkendala permodalan dan pemasaran untuk kemandirian usahanya.

Sakit Asma, Warga Plupuh Gantung Diri

Bunuh diri Sragen, dilakukan warga Plupuh.

Foto Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/Reuters)Solopos.com, SRAGEN — Suwarno, 33, warga Dusun Manyaran, Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Sragen, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri, Minggu (16/8/2015) pagi. Tindakan nekat itu diduga dipicu rasa frustasi korban terhadap penyakit asma yang dideritanya tak kunjung sembuh. Informasi yang dihimpun Solopos.com menyebutkan kasus bunuh diri itu kali pertama diketahui beberapa warga sekitar yang hendak mencari bambu di sebuah kebun milik Salamun, warga setempat. Warga dikagetkan dengan temuan tubuh menggantung di sebuah batang kayu yang melintang di atas sumur. Korban menggunakan tali nilon berwarna hijau untuk menjerat lehernya sendiri. Saat menggantung diri, korban mengenakan kaos warga ungu dan celana jeans warna hitam. Mengetahui hal itu, warga segera melapor ke Mapolsek Plupuh. Tak lama kemudian, petugas dari Polsek Plupuh dan dokter dari puskesmas setempat mendatangi lokasi. Selain memeriksa tubuh korban, polisi juga meminta keterangan beberapa warga. “Dari hasil pemeriksaan di tubuh korban, tidak ditemukan tanda-tanda bekas penganiayaan. Kami menyimpulkan penyebab kematian korban murni karena bunuh diri. Dari celana korban terdapat cairan sperma. Temuan cairan sperma itu membuktikan jika korban meninggal karena bunuh diri,” kata Kapolsek Plupuh, AKP Sudira mewakili Kapolres Sragen, AKBP Ari Wibowo, kepada Solopos.com, Senin (17/8/2015). Sudira menjelaskan, berdasarkan keterangan yang dihimpun dari keluarga, korban sudah lama mengidap penyakit asma. Meski sudah berobat ke mana-mana, penyakit itu tak kunjung sembuh. “Korban juga beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri karena rasa frustasi terhadap penyakitnya, tetapi selalu berhasil digagalkan warga,” kata Sudira.